Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Usaha pun Lancar Jaya dengan Otodidak

Berbisnis dengan passion memang akan membuat bisnis lebih tahan terhadap terpaan masalah. Lalu bagaimana dengan orang  kebetulan menekuni bisnis yang tidak sejalan dengan hobi atau atau passion-nya. Bisnisnya enggak bakal lama?
Enggak begitu juga kali. Yang namanya daya juang tidak ditentukan cuma olehpassion atau hobi. Meskipun tanpa dua makhluk itu, passion dan hobi, bisnis dijamin bakal lancar jaya kalau daya juangnya kuat. Daya juang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu.  Semakin tinggi daya juang semakin baik. Tanya saja sama Paul G. Stoltz (2000).  Menurut Stoltz, seseorang yang memiliki daya juang tinggi tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan. Nah, seorang pebisnis tentu akan mempertahankan apa yang sedang dijalani. Salah satu langkah bisa dilakukan dengan belajar apa yang tidak pernah menjadi hobinya itu.
Banyak kok contoh orang-orang muda yang bisa berhasil dalam usahanya karena otodidak alias belajar sendiri. Kita cermati orang-orang muda di bawah ini.

Norma Moi, pemilik Norma Hauri Bridal
Tahu tidak pemilik Norma Hauri Bridal sejatinya tidak terlalu familiar dengan rancang-merancang busana. Pasalnya, dia itu berprofesi sebagai penata rias. Perubahan terjadi  setelah Norma Moi pulang umroh. Tak nyana menutup aurat dengan berbusana muslim membuka jalan baginya untuk merintis karier sebagai perancang (desainer) busana muslimah.
Awalnya Norma coba-coba membuat baju sendiri untuk dia kenakan sehari-hari. Namun berkat respons positif dari lingkungan sekitar, membuat Norma menetapkan diri untuk bisa mendesain pakaian.   Alhasil, dia pun belajar sendiri segala hal tentang mendesain pakaian. Mulai dari menjahit, pengepasan, hingga memasang payet.
Tentu saja , awalnya pelanggan banyak datang dari rekanan yang pernah ia rias. Harga jual baju buatannya saat itu dihargai Rp 300.000 hingga Rp 450.000 per potong. Namun, setelah usahanya berjalan, dia sempat masuk Esmod untuk belajar mendesain pola baju dan mencari ilmu tentang detail dunia fesyen. Artinya, dia belajar mendesain pakaian setelah dia sebenarnya bisa mendesai.
Memiliki pengalaman sebagai penata rias profesional dalam pemotretan, Norma pun memiliki ide untuk membuat gaun pengantin internasional muslimah. Dia pun mulai meluncurkan Norma Hauri Bridal di tahun 2011.
Usaha Norma Moi terus berkembang. Dari semula hanya memperkerjakan dua karyawan ketika memulai usaha, kemudian bertambah menjadi empat dan terus bertambah kini menjadi 25 karyawan.  Usaha otodidak Norma Moi pun berbuah manis.

Dody Majid,  Tridy Production
Ketika memulai di bisnis penyewaan sound system dan perlengkapan acara lainnya, Dody tidak tahu apa-apa.  Ketiga kakaknya tidak ada yang terjun di bidang musik. Demikian pula orangtuanya. Meski berstatus pengusaha, tapi tak punya pengalaman di bisnis musik.  Alhasil, Dody belajar bisnis musik secara otodidak.
Namun, usaha musiknya terus berkembang, buktinya jumlah karyawan yang semula hanya dua orang, kini telah mencapai 50 orang. Perhelatan yang memakai jasa Tridy Production pun sudah tidak main-main. Termasuk di antaranya, acara musik internasional, seperti Java Jazz, Djakarta Warehouse Projects, dan Maher Zain Asian Tour.
Dody merasakan sendiri susahnya merintis usaha ini.  Dody bercerita, kendala terbesar yang ia hadapi ketika memulai usaha adalah meyakinkan orang untuk memakai jasanya. Asal-muasalnya yang dari kampung membuat orang sulit percaya bahwa sound system yang ia sediakan berkualitas. Untuk meraih kepercayaan, ia tak segan turun tangan langsung untuk memasang kabel, mengecek sound system, bahkan menyetir truk untuk mengantarkan alat yang ia sewakan. Kegigihan inilah yang membuatnya memantapkan posisi di peta bisnis sound system.
Pria yang tahun ini akan berusia 28 tahun ini mengaku, ia selalu mengedepankan kualitas peralatan musik dan speaker yang dimilikinya. Itu yang membuat Tridy Production dapat menggarap acara musik berskala internasional. “Kami selalu membeli peralatan yang premium karena dapat digunakan jangka waktu yang lama dibanding yang kelas medium,” tutur Dody.
Dody mengaku, nilai kontrak jasanya terus membesar karena mulai tahun 2015, Tridy Production melebarkan sayap bisnisnya. Tidak hanya menyewakan alat musik dan sound system, tapi juga termasuk lighting, genset, dan staging.

Egar Putra Bahtera,  pemegang merek sepatu premium Chevalier
Satu lagi yang memulai usaha dengan  otodidak adalah Egar Putra Bahtera. Dia  memulai bisnis sepatu premium dari bawah. Dia mengumpulkan modal awal dari berjualan kaus pesanan di Kaskus. Dia juga belajar secara otodidak mengenai pembuatan sepatu hingga sistem pemasaran.
Egar yang  pernah berkuliah di Jurusan Teknik Pertambangan di ITB itu sebenarnya sudah melakukan riset berbagai hal mengenai produksi dan berbisnis sepatu.  Egar mengaku tercetus mendirikan usaha sepatu premium karena menurutnya peluang pasar bisnis sepatu lokal yang berkualitas tinggi masih besar di pasaran.
Dia menemukan masih banyak produk sepatu premium yang didominasi merek dari luar negeri. Itu sebabnya Egar berhasrat bisa memiliki produk sepatu buatan lokal yang bisa bersaing dengan produk asing. Egar gencar mencari berbagai informasi dari Google, Youtube, dan berbagai situs lain seperti forum pecinta sepatu kulit di internet untuk bisa belajar membuat sepatu yang pas dan nyaman digunakan konsumen.
Dia juga melakukan riset mendalam untuk mencari perajin di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini pun tidak mudah lantaran sulit mencari perajin yang memiliki kesamaan visi dengan dirinya.
Pada tahun 2011, bermodal uang Rp 10 juta dari berjualan kaus di Kaskus dia gunakan untuk membangun situs, membeli bahan baku awal dan membuat contoh produk sepatu. Egar coba memasarkannya lewat internet kala itu. Ternyata respons pasar positif. Sampel produk sepatu yang dia patok Rp 700.000 per pasang laku terjual.
Egar terus mengembangkan kualitas produk serta cara pemasaran sepatu buatannya. Lewat berbagai forum dan riset di internet, dia menemukan informasi tentang sejumlah pemasok bahan baku ternama seperti kulit, sol dari luar negeri yang bisa meningkatkan kualitas produknya.
Dengan berbagai upaya untuk bisa meyakinkan para pemasok tersebut, Egar bisa mendapatkan kepercayaan dari mereka untuk bisa menjalin kerja sama. Itu sebabnya sekitar 40% bahan baku dia ambil dari luar negeri dan 60% dari lokal.
Dari situ kepercayaan dirinya terus bertumbuh untuk bisa bersaing di pasar kelas premium. "Bekerja sama dengan pabrik kulit dan pabrik sol kelas dunia membuat Chevalier punya keunikan dan kualitas yang mampu bersaing dengan produk luar," kata dia.
Dari sini kita bisa melihat bahwa orang-orang muda ini adalah climber (pendaki sejati). Yang berjuang terus. Mereka optimistis, selalu melihat dengan penuh harapan, dan selalu menetapkan sasaran-sasaran dalam kehidupan.  Itu merupakan tingkat tertinggi (ketiga) seseorang dalam mengatasi setiap tantangan, menurut Paul G. Stoltz dalam Adversity Quotient.  Tingkat terlemah,pertama, kemampuan seseorang dalam mengatasi setiap tantangan adalah quitter. Yaitu: mereka yang berhenti di tengah jalan dalam proses pendakian. Orang-orang ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Pastilah orang seperti ini tidak akan berhasil dalam menjalankan usaha.
Yang kedua adalah camper (pekemah).  Yang termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Artinya, mereka sudah merasa mencapai tujuannya, padahal tinggal selangkah lagi usaha mereka akan lebih maju atau lebih sukses.
Pada akhirnya, kita semua berharap menjadi climber. Yang memiliki daya juang tinggi sehingga mampu menggapai sukses setinggi-tingginya. Jadi, meskipun berhobi atau memiliki passion sama dengan bisnisnya, tidak akan lebih baik dengan si otodidak yang berjiwa climber. Terus berjuang. Salam.